Sabtu, 30 Januari 2010

HUKUM PERWAKAFAN

I. PENGERTIAN , TUJUAN DAN SASARAN WAKAF

A. Pengertian Wakaf.

Kata “Wakaf” atau “Wacf” berasal dari bahasa Arab “Waqafa” yang berarti menahan atau “berhenti”atau “diam di tempat “ atau tetap berdiri. Kata al Waqaf dalam bahasa Arab mengandung pengertian : Menahan, menahan hata untuk diwakafkan, tidak dipindah-milikkan. Sedangkan menurut ahli Fiqh berbeda-beda dalam mendefinisikannya sebagai berikut :

a. Abu Hanifah :

Wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukum, tetap milik si wakif dalam rangka mempergunakan manfaat untuk kebajikan. Berdasarkan definisi itu maka pemilikan harta benda wakaf tidak lepas dari si wakif, bahkan ia dibenarkan menarik kembali dan ia boleh menjualnya. Jika si wakif wafat, harta tersebut menjadi harta warisan ahli warisnya. Jadi yang timbul dari wakaf hanyalah “menyumbangkan manfaat” Oleh karena itu mazhab Hambali mendefinisikan wakaf adalah “Tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda yang berstatus tetap sebagai hak milik, dengan menyedahkan manfaatnya kepada suatu pihak untuk kebajikan.

b. Mazhab Maliki :

Wakaf itu tidak melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, namun wakaf tersebut mencegah melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya atas harta tersebut kepada yang lain, dan wakif berkewajiban menyedekahkan manfaatnya serta tidak boleh menarik kembali wakafnya. Perbuatan si wakif menjadikan manfaat hartanya untuk dipergunakan oleh mustahiq (penerima wakaf) walaupun yang dimilikinya itu berbentuk upah, atau menjadikan hasilnya untuk dapat digunakan seperti mewakafkan uang. Wakaf dilakukan dengan mengucapkan lafadz wakaf untuk masa tertentu sesuai dengan keinginan pemilik. Dengan kata lain, pemilik harta menahan benda itu dari pengunaansecara pemilikan, tetapi membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan kebaikan, yaitu pemberian manfaat benda secara wajar sedang benda itu tetap menjadi milik si wakif.Perwakafan itu berlaku untuk suatu masa tertentu, dan oleh karenanya tidak boleh disyaratkan sebagai wakaf kekal.

c. Mazhab Syafi’i dan Ahmad bin Hambal

Wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilkan wakif, setelah sempurna prosedur perwakafan. Wakif tidak boleh melakukan apa saja terhadap harta yang diwakafkan, jika wakif wafat harta yang diwakafkan tidak dapat diwarisi oleh para para ahli warisnya. Wakif menyalurkan harta harta yang diwakafkannya kepada mauquf ‘alaih (yang diberi wakaf) sebagai sedekah yang mengikat, dimana wakif idak dapat melarang penyaluran sumbanganya tersebut. Apabila wakif melarangnya, maka Qadhi berhak memaksanya agar memberikannya kepada mauquf ‘alaih. Oleh karena itu mazhab Syafi’i mendefinisikan wakaf adalah “Tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang bestatus sebagai milik Allah SWT, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu kebajikan (sosial)”

d. Jumhur Ulama .

Jumhur Ulama termasuk Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan As Syahbani, ulama Syafi’iyah dan ula Hambaliyah mendefinisikan bahwa Wakaf adalah “Menahan hak orang yang berwakaf terhadap hartanya yang telah diwakafkan dengan tetapnya benda itu, untuk dimanfaatkan bagi kepentingan umum dan kebaikan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hrta yang diwakafkan tidak lagi menjadi milik wakif. Status harta tersebut menjadi beralih menjadi milik Allah SWT.yang dipergunakan untuk kepentingan masyarakat.

e. Peraturan Pemerintah No. 28 Th. 1977.

Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkansebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.

f. Kompilasi Hukum Islam (Inpres No. 1 Th. 1991).

Wakaf adalah perbuatan kukum seseorang atau sekelompok orang atau badan hukum yag memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.

g. UU No. 41 Th. 2004

Menurut pasal 1 dinyatakan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/ atau menyerakan sebagian harta miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/ atau kesejahteraan umum menurut syarian.

B. Tujuan dan Fungfsi serta Sasaran Wakaf

a. Tujuan Wakaf

Wakaf bertujuan memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya

b. Fungsi Wakaf

Wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat ekonomi harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.

c. Sasaran Wakaf

Sasaran wakaf adalah mereka-mereka para fakir miskin yang memerlukan bantuan baik untuk pendidikan maupun keperluan hidup lainnya

II SEJARAH PERWAKAFAN

1. Masa Rasulullah

Dalam sejarah Islam, Wakaf dikenal sejak masa Rasulullah SAW, karena wakaf disyariatkan setelah Nabi SAW hijrah ke Madinah, pada tahun kedua Hijriyah. Ada dua pendapat berkembang di kalangan ahli yurisprudensi Islam entang siapa yang pertama kali melaksanakan Syariat Wakaf . Menururt sebagian pendapat ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan Syariat wakaf tanah milik adalah Nabi SAW untuk dibangun masjid . Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin Syabah dari Amir bin Sa’ad bin Mu’ad, ia berkata “ Kami bertanya tetang mula-mula wakaf dalam Islam , orang Muhajirin mengatakan adalah wakaf Umar, sedangkan orang Ansor mengatakan adalah Wakaf Rasulullah SAW. Asy Syaukani).

Rasulullah SAW pada tahun ketiga Hijriyah pernah mewakafkan tjuh kebun kurma di Madinah diantaranya ialah kebon A’raf, Shafi’ah, Dalal dan Barqah. Menurut pendapat sebagian ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf adalah Umar bn Khatab. Pendapat ini berdasarkan hadits yang driwayatkan Ibnu Umar RA ia berkata :

“Bahwa sahabat Umar RA memberoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudia Umar RA menghadap Rasulullah SAW, untuk meminta petunjuk . Umar berkata, hai Rasululah, saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah SAW bersabda “Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya).” Kemudian Umar mensedahkan (tanahnya untuk dikelola) tidak djual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan. Ibnu Umar berkata “ Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang mengelola (nazhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta (H.R Muslim)

Kemudian syariat wakaf yang telah dilakukan oleh Umar bin Khatab disusul oleh Abu Thalhah yang mewakafkan kebun kesayangannya, kebun “Bairaha”. Selanjutnya disusul oleh sahabat Nabi lainnya, seperti Abu Bakar yang mewakafkan tanahnya di Mekkah yang diperuntukkan kepada anak keturunannya yang datang ke Mekkah. Utsman menyedekahkan hartanya di Khaibar. Ali bin Abi Thalib mewakafkan tanahnya yang subur . Mu’adz bin Jabal mewakafkan rumahnya, yang populer dengan nama “Dar el Anshar”. Kemudian pelaksanaan wakaf disusul oleh Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwam dan ‘ Aisyah istri Rasulullah.

2. Masa Dinasti-Dinasti Islam.

Praktek wakaf menjadi luas lagi pada masa dinasti Umayyah dan dinasti Abbasiyah, semua orang berduyun-duyun melaksanakan wakaf dan wakaf tidak hanya untuk orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar gaji para stafnya, gaji para guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswanya. Antusianisme masyarakat kepada pelaksanaan wakaf telah menarik perhatian negara untuk mengatur pengelolaan wakaf sebagai sektor untuk membangun solidaritas sosial dan ekonomi masyarakat.

Wakaf pada mulanya merupakan keinginan seseorang yang ingin berbuat baik dengan kekayaan yang dimilikinya dan dikelola secara individu tanpa adaaturan yang pasti. Namun setelah masyarakat Islam merasakan betapa manfaatnya lembaga wakaf, maka timbullah keinginan untuk mengatur perwakafan dengan baik. Kemudian dibentuk lembaga yang mengatur wakaf untuk mengelola, memelihara dan menggunakan harta wakaf, baik secara umum seperti masjid atau secara individu atau keluarga.

Pada masa dinasti Umayyah yang menjadi hakim Mesir adalah Taubah bin Ghar al Hadhramy pada masa khalifah Hisyam bin abd. Malik. Ia sangat perhatian dan tertarik dengan pengembangan wakaf sehingga terbrntuk lembaga wakaf tersendiri sebagaimana lembaga lainnya di bawah pengawasan hakim. Lembaga wakaf inilah yang pertama kali dilakukan dalam administrasi wakaf di Mesir, bahkan diseluruh Negara Islam. Pada masa itu juga hakim Taubah mendirikan lembaga wakaf di Basrah. Sejak saat itulah pengelolaan lembaga wakaf di bawah Departemen Kehakiman yang dikelola dengan baik dan hasilnya disalurkan kepada yang berhak dan yang membutuhkan.

Pada masa dinasti Abasiyah terdapat lembaga wakaf yang disebut dengan “Sadr al Wuquuf” yang mengurus administrasi dan memilih staf pengelola lembaga wakaf. demikian perkembangan wakaf pada masa dinasti Umayyah dan dinasti Abasiyah yang manfaatnya dapat dirasakan oleh masyaraat, sehingga lembaga wakaf berkembang searah dengan pengaturan administrasinya.

Pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir perkembangan wakaf cukup menggembirakan, dimana hampir semua tanah-tanah pertanian menjadi harta wakaf dan semuanya dikelola oleh negara dan menjadi milik egara (baitul mal). Ketika Shalahuddin al Ayyuby memerintah Mesir, maka ia bermaksud mewakafkan tanah-tanah milik negara diserahkan kepada yayasan keagamaan dan yayasan sosial sebagaimana yang dilakukan oleh dinasti Fathimiyyah sebelumnya, meskipun secara fiqh Islamhukum mewakafkan harta baitul mal masir berbeda pendapat para ulama. Pertama kali orang yang mewakafkan tnsh milik negara (baitul mal) kepada yayasan keagamaan dan sosial adalah Raja Nuruddin Asy Syahid dengan ketegasan fatwa yang dikeluarkan oleh seorang ulama pada masa itu ialah Ibnu ‘Ishrun dan didukung oleh para ulama lainnya bahwa mewakafkan harta milik negara hukumnya boleh (jawaz), dengan argumentasi (dalil) memelihara dan menjaga kekayaan negara. Sebab harta yang dimiliki negarapada dasarnya tidak boleh diwakafkan.

Shalahuddin al Ayyuby banyak mewakafkan lahan milik negara untuk kegiatan pendidikan, seperti mewakafkan beberapa desa (qaryah) untuk pengembangan madrasan mazhab As Syafi’iyah, madrasah Al Malikiyah dan madrasah mazhab Al Hanafiyah dengan dana melalui modelmewakafkan kebun dan lahan pertanian , seperti pembangunan adrasah mazhab As Syafi’iyah di samping kuburan Imam Syafi’i dengan cara mewakafka kebun pertanian dan pulau Al Fil.

Dalam mensejahterakan ulama dan kepentingan mazhab Sunni, Shalahuddin al Ayyuby menerpkan kebijakan (1178 M/572 H) bahwa bagi orang Kristen yang datang dari Iskandar untuk berdagang wajib membayar bea cukai. Hasilnya dikumpulkan dan diwakafkan kepada para ahli yurisprudensi dan keturunannya. Wakaf telah menjadi sarana bagi dinasti al Ayyubiyah untuk kepentingan politiknya dan misi alirannya ialah mazhab Sunni dan mempertahankan kekuasaannya. Harta milik Negara (baitul mal) menjadi modal untuk diwakafkan demi pengembangan mazhab Sunni dan mengusur mazhab Syi’ah yang dibawa oleh dinasti sebelumnya, ialah dinasti Fathimiyah.

Perkembangan wakaf pada dinasti Mamluk sangat pesat dan beraneka ragam, sehinga apapun yang dapat diambil manfaatnya boleh diwakafkan. Akan tetapi paling banyak diwakafkan pada masa itu adalah tanah pertanian dan bangunan, seperti gedung perkantoran, penginapan, dan tempat belajar. Pada masa Mamluk terdapat wakaf hamba sahaya yang diwakafkan untuk merawat lembaga-lembaga agama. Seperti mewakafkan budan untuk memelihara masjid dan madrasah. Hal ini dilakukan pertama kali oleh penguasa dinasti Utsmani ketika menaklukan Mesir, Sulaeman Basya yang ewakafkan budaknya untuk merawat masjid.

Manfaat wakaf pada dinasti Mamluk digunakan sebagaimana tujuan wakaf, seperti wakaf keluarga untuk kepentingan keluarga, wakaf umum untuk kepentingan sosial, membangun tempat untuk memandikan mayat dan untuk membantu orang-orang fakir dan miskin. Yang lebih membawa syi’ar Islam adalah wakaf untuk sarana di Haramain, ialah Mekkah dan Madinah, seperti kain Ka’bah (kiswatul ka’bah). Sebagaimana yang dilakukan oleh Raja Shaleh bin al Nasir yang membeli desa Bisus lalu diwakafkan untuk embiayai kiswah Ka’bah setiap tahunnya da mengganti kain kuburan RasulullahSAW dan mimbarnya setiap lima tahun sekali

Perkembangan berikutnya yang dirasa manfaat wakaf telah menjaditulang punggung dalam roda ekonomi pada masa dinasti Mamluk mendapat erhatian khusus pada masa itu meski tidak dketahui secara pasti awal mula disahkannya undang-undang wakaf. Namun menurut berita dan berkas yang terhimpun bahwa perundang-undangan wakaf pada dinasti Mamluk dimulai Raja al Dzahir Bibers al Bandaq (1260-1277M/ 658-676 H) dimana dengan undang-undang tersebut Raja al Dzahir memilih hakim dari masing-masing empat mazhab Sunni. Pada orde al Dzahir Bibers erwakafan dapat dbagi menjadi tiga kategori. Pendapatan negara dari hasil wakaf yang diberikan oleh penguasa kepada orang-orang yang dianggap berjasa, wakaf untuk membantu Haramain (fasilitas Mekkah dan Madinah) dan kepentingan masyarakat umum.

Sejak abad 15 (liama belas), Kerajaan Turi Utsmani dapat memperluas wilayah kekuasaannya, sehinga Turki dapat menguasai sebagian besar wilayah negara Arab. Kekuasaan politik yang draih oleh dinasti Utsmani secara otomatis mempermudah untuk menerapkan Syari’at Islam diantaranya adalah peraturan tentang perwakafan. Diantara undang-undang yang diekluarkan pada masa dinasti Utsmani ialah peraturan tentang pembukuan pelaksanaan wakaf, yang dikeluarkan tangal 19 Jumadil Akhir 1280 Hijriyah. Undang-undang tersebut mengatur tentang pencatatan-pencatatan wakaf, sertifikasi wakaf,cara pengelolaan wakaf, upaya mencapai tujuan wakaf dan melembagakan wakaf dalam upaya realisasi wakaf dari sisi administrasi dan perundang-undangan.

Pada tahun 1287 H dikeluaran undang-undang yang menjelaskan tentang kedudukan tanah-tanah kekuasaan Turki Utsmani dan tanah-tanah produktif yang berstatus wakaf. Dari mplementasi undang-undang tersebut di negara-negara Arab mash banyak tanah yang berstatus wakaf dan dipraktekkan sampai sekarang ini.

Sejak masa Rasululah, masa kekhalifaha dan masa dinasto Islam sampai sekarang wakaf masih dilaksanakan dari waktu ke waktu di seluruh negeri muslim, termasuk di Indonesia. Hal ini terlihat dari kenyataan bahwa lembaga wakaf yang berasal dari agama Islam ini telah diterima (diresepsi) menjadi hukum adat bangsa Indonesia sendiri.

3. Perwakafan di Indonesia

Perwakafan di Indonesia sebetulnya sudah dikenal semenjak zaman sebelum kemerdekaan Republik Indonesia, pada saat itu orang- orang Indonesia yang beragama Islam jauh sebelum kemerdekaan telah melaksanakan perwakafan.

Hal tersebut memungkinkan karena pada saat itu di Indonesia sudah banyak berdiri kerajaan-kerajaan Islam seperti Demak dan Samudra Pasai dll. Menurut Mr. Kusuma Atmadja, lembaga wakaf sudah dikenal dalam masyarakat Indonesia jauh sebelumdatangnya Agama Islam, misalnya Suku Badui di Banten Selatan mengenal “Huma Serang” yaitu ladang-ladang yang hasilnya pada tiap-tiap tahun dipergunakan untuk kepentingan bersama. Begitu juga di Pulau ali dikenal suatu lembaga wakaf semacam dengan lembaga wakaf, yaitu tanah atau benda lain (perhiasan untuk pesta) yang menjadi milik dewa-dewa yang tinggal disana.

Masalah perwakafan pada saat itu telah di atur dalam hukum Aday yang sifatnya tidak tertulis yang sumbernya dari Hukum Islam. Namun disamping itu oleh Pemerintah Kolonial dahulu telah dikeluarkan pula berbagai peraturan yang mengatur tentang persoalan wakaf antara lain :

1. Surat Edaran Sekretaris Governemen pertama tanggal 31 Januari 1905 nomor 435 yang termuat dalam Bijblad 1905 nomor 6196, tentang Toezicht op den bouw van Muhammad Bedebuzen. Isi dari surat edaran tersebut tdak secara khusus mengatur tentang wakaf, namun Pemerintah tidak menghalang-halangi orang-orang Islammemenuhi keperluan agamanya ;

2. Surat Edaran dari Sekretaris Governemen tanggal 14 Juni 1931 nomor 1361/A yang dimuat dalam Bijblad 1931 nomor 125?a yang intinya memuat agar Bjglad tahun 1905 nomor 1696 diperhatikan dengan baik. Dalam pelaksanaannya Bupati memberi perintah supaya tanah wakaf yang dizinkannya dimasukkan dalam daftar dan dipelihara oleh Pengadilan Agama.

3. Surat Edara Sekretaris Governemen tanggal 24 Desember 1934 nomor 3088A yang dimuat dalam Bjblad tahun 1934 nomor 13390 mempertegas edaran sebelumnya, yang kemudian dipertegas lagi dengan edaran tanggal 27 Mei 1935 nomor 1273/A yang termuat dalam Bijblad 1935 omor 13480.

Selanjutnya setelah kemerdekaan Republik Indonesia, bahwa segala peraturan perwakafan yang telah dikeluarkan pada masa penjajahan masih tetap berlaku sejak Proklamasi Kemerdekaan sesuai pasal II aturan peralihan UUD 1945, yakni “segala badan negara dan segala peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini”

Namun secara bertahap untuk melaksanakan perwakafan telah dikeluarkan beberapa petunjuk tentang perwakafan dari Departemen Agama Republik Indonesia tanggal 22 Desember 1953 tenang Petunjuk mengenai Wakaf, dan selanjutnya perwakafan menjadi wewenang Bagian D (Ibadah Sosial) Jawatan Urusan Agama. Selanjutnya untuk lebih memudahkan pelaksanaan perwakafan telah dikeluarkan Surat Edaran No. 5/D/1956 tgl. 8 Oktober 1958 tentang Prosedur Perwakafan Tanah.

Mengenai perwakafan tanah tersebut nampaknya juga mendapat perhatian khusus dari Pemerintah, hal ini dapat dilihat pada pasal 49 ayat (1) UU No. 5 Th. 1960 yang berbunyi : Hak milik atas tanah badan-badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial diakui dan dilindungi. Badan-badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan. Selanjutnya dalam ayat (3) dinyatakan bahwa perwakafan tanah milik dilndungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Selang 17 tahun kemudian dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah No. 28 Th. 1977 yang disyahkan di Jakarta tgl. 17 Mei 1977 dan dimuat dalam Lembaran Negara RI No. 38 Th. 1977 dan Tambahan Lembaran Negara RI No. 3107.

Setelah berlakunya Peraturan Pemerintah No. 28 Th. 1977, maka pelaksanaan perwakafan sudah mempunyai pedoman yang jelas, dan dengan telah dikeluarkannya peraturan pemerintah tersebut maka sesuai dengan pasal 17 ayat (1) dan (2) semua peraturan perundang-undangan tentang perwakafan sebelumnya dinyatakan tidak berlaku lagi. Untuk kelancaran pelaksaaan perwakafan telah pula dikeluarkan berbagai Keputusan Menteri, Instruksi Menteri maupun Edaran Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji pada saat itu.

Nampaknya peraturan perwakafan yang tertuang dalam PP No. 28 Th. 1977 dikuatkan lagi dengan Inpres No. 1 Th. 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.yang isinya mengenai Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan. Sebagai kelanjutan dari Inpres tersebut dikeluarkanlah SK Menteri Agama No. 154 Th. 1991 tentang pelaksanaan Inpres No. 1 Th. 1991 tgl. 10-6-1993 untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam tersebut.

Mengenai ketentuan perwakafan tersebut saat ini telah dikeluarkan UU No. 41 Th. 2004 tentang Wakaf yang disyahkan tgl. 27 Oktober 2004 dan telah diundangkan melalui Lembaran Negara RI tahun 2004 nomor 159. sekaligus penjelasannya yang dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara RI nomor 4459. Dalam Undang-undang tersebut mengenai barang wakaf telah dikembangkan, bahwa barang wakaf terdiri dari barang tidak bergerak dan barang bergerak, termasuk juga Hak Kekayaan Intelektual, selanjutnya dibentuk pula adanya Badan Wakaf Indonesia merupakan badan independen untuk mengembangkan perwakafan di Indonesia. Selanjutnya telah pula dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 42 Th. 1996 tentang Pelaksanan UU No. 41 Th. 2004 tentang Wakaf. yang ditetapkan di Jakarta tgl. 15 Desember 2006 dan dituangkan dalam Lembaran Negara RI Th. 2006 No.105.

III DASAR HUKUM PERWAKAFAN

A. Dalil yang menjadi dasar disyariatkannya ibadah wakaf bersumber dari :

a) Al Qur’an

b) Hadits.

1. Al Qur’an, antara lain disebutkan :

a. Surat al Haj ayat 77 yang berbunyi

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.

b. Surat Ali Imran ayat 92 yang berbunyi :

Artinya : Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.

c. Surat Al Baqarah ayat 261 yang berbunyi :

Artinya : Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah[166] adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.

[166]. Pengertian menafkahkan harta di jalan Allah meliputi belanja untuk kepentingan jihad, pembangunan perguruan, rumah sakit, usaha penyelidikan ilmiah dan lain-lain.

2. Hadits / Sunnah Rasulullah

a. Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda “Apabila anak Adam manusia) meninggal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara : sadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang shaleh yang mendoakan orang tuanya (HR Muslim). Penafsran shadaqah jariayah dalam hadits tersebut adalah Hadists tersebut dikemukakan dalam bab wakaf, karena para ulama menafsirkan shadaqah jariyah dengan wakaf (Imam Muhammad Ismail al Khalani).

b. Khadits yang lebih tegas lagi menggambarkan dianjurkannnya wakaf yaitu perintah abi kepada Umar untuk mewakafkan tanahnya yang ada di Khaibar : “Dari Ibnu Umar ra berkata bahwa sahabat Umar RA memberoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudia Umar RA menghadap Rasulullah SAW, untuk meminta petunjuk . Umar berkata, hai Rasululah, saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah SAW bersabda “Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya).” Kemudian Umar mensedahkan (tanahnya untuk dikelola) tidak djual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan. Ibnu Umar berkata “ Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang mengelola (nazhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta (H.R Muslim)

c Dalam sebuah hadits yang lain disebutkan : Dari Ibnu Umar, ia berkata “ Umar mengatakan kepada abi SWA saya mempunyai seratus dirham di Khaibar. Saya belum pernah mendapat harta yang paling saya kagumi seperti itu. Tetapi saya ingin menyedekahkannya. Nami mengatakan kepada Umar : ahanlah (jangan jual, hibahkan dan wariskan) asalnya (modal pokok) dan jadikan buahnya sedekah untuk sabilillah” (H.R. Bukhari dan Muslim)

3.. Peraturan Perundangan

Disamping dasar hukum yang tercantum dalam fiqh , untuk Indonesia berdasarkan :

a. UU No. 5 Th. 1960 tentang Undang undang Pokok Agraria

b. PP. No. 28 Th. 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik

c. Inpres No. 1 Th. 1991 mengenai Kompilasi Hukum Islam

d. UU No. 41 Th. 2004 tentang Wakaf

e. PP. No. 42 Th. 2006 tentang pelaksanaan UU No. 41 Th. 2004

B. Macam-macam wakaf

Bila ditinjau dari segi peruntukkan wakaf itu, maka wakaf dapat dibagi menjadi dua macam yaitu :1. Wakaf Ahli dan 2.Wakaf khairi

1. Wakaf ahli.

Wakaf ahli adalah wakaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu, seorang atau lebih, keluarga si wakif atau bukan . Wakaf seperti ini juga disebut wakaf Dzurri.

Apabila ada seorang yang mewakafkan sebidang tanah untuk anaknya lalu kepada cucunya, wakafnya sah dan yang berhak mengambil manfaatnya adalah mereka yang ditunjuk dalam pernataan wakaf. Wakaf ahli/dzurri kadang-kadang juga disebut wakaf ‘alal aulad, yaitu wakaf diperuntukkan untuk kepentingan dan jaminan sosial dalam lingkungan keluarga (famili), lingkungan kerabat sendiri .

Wakaf untuk keluarga ini secara hukum Islam dibenarkan berdasarkan Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik tentang adanya wakaf keluarga Abu Thalhah kepada kaum kerabanya Diujung Hadits tersebut dinyatakan sebagai berikut : Aku telah mendengar ucapanmu tentang hal tersebut. Saya berendapat sebaknya kamu memberkannya kepada keluarga terdekat. Maka Abu Thalhah membagikannya untuk para keluarga dan anak-anak pamannya.

Dalam satu segi wakaf ahli (dzurri) ini baik sekali, karena wakif akan mendapat dua kebaikan dari amal ibadah wakafnya, juga kebaikkan dari silaturahmi erhadap keluarga yang diberikan harta wakaf. Akan tetapi disisi lain wakaf ahli ini sering menimbulkan masalah, seperti bagaimana kalau anak cucu yang ditunjuk sudah tidak ada lagi (punah). Siapa yang berhak mengambil manfaat harta wakaf ? Atau sebaliknya, bagaimana jika anak cucu yang menjadi tujuan wakaf itu berkembang sedemikian rupa, sehingga menyulitkan bagaimana cara meratakan pembagian hasil harta wakif ?.

Untuk mengantisipasi punahnya anak cucu (keluarga penerima harta wakaf) agar harta wakaf kelak tetap bisa dimanfaatkan dengan bak dan berstatus hukum yang jelas, maka sebaiknya dalam ikrar wakaf ahli ini disebutkan bahwa wakaf ini untuk anak, cucu, kemudian fakir miskin. Sehingga bila suatu ketika ahli kerabat (penerima wakaf) tidak ada lagi (punah), maka wakaf itu bisa langsung diberikan kepada fakir miskin. Namun untuk kasus anak cucu yang menerima wakaf ternyata berkembang sedemikian banyak kemungkinan akan menemukan kesulitan pembagiannya secara adil dan merata.

Pada pekermbangan selanjutnya, wakaf ahli untuk saat ini dianggap kurang dapat memberikan manfaat untuk kesejahteraan umum, karena sering menimbulkan kekaburan dalam pengelolaan dan pemanfaatan wakaf oleh keluarga yang diserahi harta wakaf. Dibeberapa negara tertentu seperti Mesir, Turki, Maroko dan Aljazair, wakaf untuk keluarga (ahli) telah dihapuskan, karena pertimbangan dari berbagai segi, tanah-tanah dalam bentuk ini dinilai kurang produktif. Untuk itu dalam pandangan KH Ahmad Basyir, MA bahwa keberadaan tanah jenis wakaf ini sudah selayaknya ditinjau kembali untuk dihapuskan.

2 Wakaf Khairi

Wakaf khairi adalah wakaf yang secara tegas untuk kepentingan agama (keagamaan) atau kemasyarakatan (kebajkan umum. Seperti wakaf yang diberikan untuk keperluan pembangunan masjid, sekolah, jembatan, rumah sakit, panti asuhan anak yatim dan lain sebagainya.

Jenis wakaf ini seperti yang djelaskan dalam Hadits Nabi Muhammad SAW yang menceritakan tentang wakaf sahabat Umar bi Khattab. Beliau memberikan hasil kebunnya kepada fakir miskin, ibnu sabil, sabilillah, para tamu dan hamba sahaya yang berusaha menebus dirinya.. akaf ini ditujukan kepada umum dengan tidak terbatas penggunaannya yang mencakup semua aspek untuk kepentingan dan kesejahteraan ummat manusia pada umumnya. Kepentingan umum tersebut bisa untuk jaminan sosial, pendidikan, kesehatan, pertahanan keamanan dan lain-lain.

Dalam tinjauan penggunaannya, wakaf jenis ini jauh lebih banyak manfaatnya dibandingkan dengan wakaf jenis wakaf ahli, karena tidak terbatasnya pihak-pihak yang ingin mengambil manfaat. Jenis wakaf inilah yang sesungguhnya paling sesuai dengan tujuan perwakafan ini secara umum. Dalam jenis wakaf ini juga, si wakif dapat mengambil manfaat dari harta yang diwakafkan itu, seperti wakaf masjid maka si wakif boleh mengambil air dari sumur tersebut sebagaimana pernah dilakukan oleh Nabi dan Sahabat Utsman bin affan.

Secara substansinya, wakaf inilah yang merupakan salah satu segi dari cara membelanjakan (memanfaatkan) harta di jalan Allah SWT. Tentunya kalau dilihat dari manfaat kegunaannya merupakan salah satu sarana pembangunanm baik di bidang keagmaan, khususnya peribadatan, perekonomian, kebudayaan, kesehatan, keamanan dan sebagainya. Dengan demikian, benda wakaf tersebut benar-benar terasa manfaatnya untuk kepentingan kemanusiaan, tidak hanya untuk keluarga atau kerabat yang terbatas.

IV. SYARAT DAN RUKUN WAKAF

Menurut Fiqh, Wakaf dinyatakan syah apabila telah terpenuhi rukun dan syarat wakaf ada 4 yakni :

1. Wakif (orang yang mewakafkan tanah) ;

2.. Maukuf bih (barang atau harta yang diwakafkan) ;

3.. Mauquf ‘Alaih (pihak yang diberi wakaf/ peruntukkan wakaf) ;

4. Shighat (pernyataan/ ikrar wakif sebagai suatu kehendak untuk mewakafkan harta bendanya).

A. Syarat wakif .

Orang yang mewakafkan (wakif disyaratkan memiliki kecakapan hukum atau kamalul ahliyah (legal competent) dalam membelanjakan hartanya Kecakapan bertindak disini meliputi empat kriteria yakni :

a. Merdeka

Wakaf yang dilakukan oleh seorang budak (hamba sahaya), tidak sah karena wakaf adalah pengguguran hak mlik dengan cara memberikan hak milik itu kepada orag lain. Sedangkan hamba sahaya tidak mempunyai hak milik, dirinya dan apa yang dimiliki adalah kepunyaan tuannya. Namun demikian Abu Zahrah mengatakan bahwa para fuqaha sepakat budak itu boleh mewakafkan hartanya bila ada ijin dari tuannya, karena ia sebagai wakil darinya. Bahkan Adz Dzahiri menetapkan bahwa budak dapat memilki sesuatu yang diperoleh dengan jalan waris atau tabarru. Bila ia dapat memiliki sesuatu berarti ia dapat pula membelanjakan miliknya itu Oleh karena itu ia boleh mewakafkan, walaupun hanya sebagai tabarru saja.

b. Berakal

Wakaf yang dilakukan oleh orang gila tidak sah hukumnya, sebab ia tidak berakal, tidak mumayyiz dan tidak cakap melakukan akad serta tindakan lainnya. Demikian juga wakaf orang lemah mental (idiot), berubah akal karena faktor usia, sakit atau kecelakaan, hukumnya tidak sah karena akalnya tidak sempurna dan tidak cakap untuk menggugurkan hak miliknya.

c. Dewasa (baligh)

Wakaf yang dilakukan oleh anak yang belum dewasa (baligh) hukumnya tidak sah karena ia dipandang tidak cakap melakukan akad dan tidak cakap pula untuk menggugurkan hak miliknya.

d. Tidak berada dibawah pengampuan (boros/lalai).

Orang yang berada di bawah pengampuan dipandang tidak cakap untuk berbuat kebaikkan (tabarru), maka wakaf yang dilakukan hukumnya tidak sah. Karena tujuan dari pengampuan ialah untuk menjaga harta supaya tidak habis dibelanjakan untuk sesuatu yang tidak benar, dan untuk menjaga dirinya agar tidak menjadi beban orang lain

B. Syarat Mauquf Bih (Harta yang diwakafkan)

Dalam pembahasan ini terbagi menjadi 2 (dua) bagian :

1. Syarat sahnya harta wakaf .

Harta yang akan diwakafkan harus memenuhi syarat sebagai berikut :

a. Harta yang akan diwakafkan harus mutaqawwam.

Pengertian harta yang mutaqawwam (al mal al mutaqawwam), menurut Mazhab Hanafi ialah segala sesuatu yang dapat disimpan dan halal digunakan dalam keadaan normal (bukan dalam keadaan darurat). Karena itu mazhab ini memandang tidak sah mewakafkan :

1). Sesuatu yang bukan harta, seperti mewakafkan manfaat dari rumah sewaan untuk ditempati ;

2). Harta yang tidak mutaqawwam, seperti alat-alat musik yang tidak halal digunakan atau buku-buku anti Islam, karena dapat merusak Islam itu sendiri,

b. Diketahui dengan yakin ketika diwakafkan

Harta yang akan diwakafkan harus diketahui dengan yakin (‘ainun ma’lumun), sehingga tidak akan menimbulkan persengketaan. Karena itu tidak sah mewakafkan yang tidak jelas seperti satu dari dua rumah. Pernyataan wakaf yang berbunyi “Saya mewakafkan sebagian dari tanah saya kepada orang-orang kafir di kampung saya”, begitu juga tidak sah pernyataan “Saya mewakafkan sebagian buku saya kepada para pelajar”, Kata sebagian dalam pernyataan ini membuat harta yang diwakafkan tidak jelas dan akan menimbulkan persengketaan. Latar belakang syarat ini karena hak yang diberi wakaf terkait dengan harta yang diwakafkan kepadanya. Seandainya harta yang diwakafkan kepadanya tidak jelas, tentu akan menimbulkan sengketa. Selanjutnya sengketa ini akan menghambat pemenuhan haknya. Para fakih tidak mensyaratkan agar benda tdak bergerak yang diwakafkan harus dijelaskan batas-batasnya dan luasnya, jika batas-batasnya dan luasnya dketahui dengan jelas. Jadi secara fiqih sudah sah pernyataan sebagai berikut : “Saya wakafkan tanah saya yang terletak di ...... “ sementara itu wakif tidak mempunyai tanah lain selain tempat itu.

c. Milik wakif

Hendaklah harta yang diwakafkan milik penuh dan mengikat bagi wakif ketika ia mewakafkannya. Untuk itu tidak sah mewakafkan sesuatu yang bukan milk wakif, karena wakaf mengandung kemungkinan menggugurkan milik atau sumbangan . Keduanya hanya dapat terwujud pada benda yang dimiliki. Berdasarkan syarat ini, maka banyak wakaf yang tidak sah diantaranya :

1).A mewasiatkan pemberian rumah kepada B. Kemudian B mewakafkan kepada C, sementara A masih hidup. Wakaf ini tidak sah, karena syarat kepemilikan pada wasiat ialah setelah yang berwasiat meningal.

2). A menghibahkan sesuatu barang kepada B. Kemudian B sebelum menerimanya mewakafkan kepada C. Wakaf ini juga tidak sah karena syarat kepemilikan pada hibah ialah setelah penerima hibah menerima harta yang diberikan kepadanya.

3). A membeli barang tidak bergerak dari B. Lalu B mewakafkannya kepada C. Setelah itu terbukti barang itu milik A. Wakaf ini tidak sah, karena pada hakekatnya barang tersebut bukan milik B

4). A memiliki sebidang tanah tetapi tidak mampu membayar pajaknya. Akibatnya pemerinah menyitanya. Tanah ini bukan milik pemerintah sepenuhnya, karena itu apabila pemerintah mewakafkannya, maka secara hukum tidak sah.

d. Terpisah bukan milik bersama.

Milik bersma ada kalanya dapat dibagi, juga ada kalanya tidak dapat dibagi.

Hukum mewakafkan benda milik bersama (musya’) tidak sah misalnya :

1). A mewakafkan sebagian dari musya’ (milik bersama) untuk dijadikan masjid atau pemakaman tidak sah dan tidak menimbulkan akibat hukum, kecuali apabila bagian yang diwakafkan tersebut dipisahkan dan dietapkan batas-batasnya.

2). A mewakafkan kepada pihak yang berwajib sebagian dari musya’ (milik bersama) yang terdapat pada harta yang dapat dibagi

Namun contoh lain si A mewakafkan sebagian dari musya’ yang terdapat pada harta tidak dapat dibagi bukan untuk dijadikan masjid atau pemakaman, hukumnya sah.

C. Syarat Mauquf “Alaih (penerima wakaf)

Yang dimaksud dengan mauquf “alaih adalah tujuan wakaf (peruntukan wakaf). Wakaf harus dimanfaatkan dalam batas-batas yang sesuai dan diperbolehkan Syariat Islam, karena pada dasarnya wakaf merupakan amal yang mendekatkan diri manusia kepada Tuhan . Oleh karena itu mauquf ‘alaih (yang diberi wakaf) haruslah pihak kebajikan. Para faqif sepakat berpendapat bahwa wakaf kepada pihak kebajikan itulah yang membuat wakaf sebagai ibadah yang mendekatkan diri manusia kepada Tuhannya.

Namu terdapat perbedaan pendapat antara antara para faqih mengenai jenis ibadat ini, apabila ibadat menurut pandangan Islam ataukah menurut keyakinan wakif atau keduanya, yaitu menurut pandangan Islam dan keyakinan wakif.

1 Mazhab Hanafi mensyaratkan agar mauquf ‘alaih ditujukan untuk ibadah menurut pandangan Islam dan menurut keyakinan wakif. Jika tidak terwujud salah satunya, maka wakaf tidak syah. Karena itu :

1). Sah wakaf orang Islam kepada semua syi’ar-syi’ar Islam dan pihak kebajikan, seperti orang-orang miskin, rumah sakit, tempat penampungan dan sekolah. Adapun wakaf selain syi’arsyi’ar Islam dan pihak-pihak kebajikan hukumnya tidak sah, seperti klub judi.

2) Sah wakaf non muslim kepada pihak kebajikan umum seperti tempat ibadat dalam pandangan slam seperti pembanunan masjid, biaya masjid, bantuan kepada jamaah haji dan lain-lain. Sehingga kepada selain pihak kebajikanumum dan tempat ibadt dalam pandangan agamanya saja seperti pembangunan gereja, biaya pengurusan gereja hukumnya tidak sah. Sesuai ayat yang artinya : Pahala sedekah jariyah terus mengalir selain muslim tidak ada pahalanya.

2. Mazhab Maliki mensyaratkan agar mauquf ‘alaih untuk ibadat menurut pandangan wakif. Sah wakaf muslim untuk semua syi’ar Islam dan badan-badan ssial umum, dan tidak sahwakaf non muslim kepada masjid dan syiar-syiar Islam.

3 Mazhab Syafi’i dan Hambali mensyaratkan agar mauquf ‘alaih adalah ibadat menurut pandangan Islam saja, tanpa memandang keyakinan wakif. Oleh karena itu sah wakaf muslim dan non muslim kepada badan-badan sosial seperti penampungan, tempat peristirahatan, badan kebajikan dalam Islam seperti asjid. Tidak sah wakaf muslim dan non muslim kepada badan-badan sosial yang tidak sejalan dengan Islam seperti gereja.

D. Syarat Shighat (Ikrar wakaf)

1. Pengertian shighat wakaf ialah segala ucapan, tulisan atau syarat dari orang yang bertekad untuk menyatakan kehendak dan menjelaskan apa yang diingatnya. Sehingga shighat wakaf ckup dengan ijab saja dari wakif tanpa memerlukan qobul dari mauquf ‘alaih.

2. Status shighat, secara umum adalah salah satu rukun wakaf. Wakaf tidak sah tanpa shighat. Setiap shighat mengandung ijab dan mungkin mengandung qabul pula.

3. Dasar shighat , perlunya shighat karena wakaf adalah melepaskan hak milik dari benda dan manfaat dari manfaat saja dan memilikkan kepada yang lain. Maksud melepaskan dan memlikkan adalah urusan hati , sehingga tida ada yang dapat menyelai isi hati orang lain secara jelas kecuali melalui pernyataannya sendiri. Ijab wakif tersebut mengngkapkan dengan jelas keinginan wakif memberi wakaf yang dapat berupa kata-kata atau tulisan kalau tidak mampu mengungkapkan dengan kata-kata bahkan isyarat apabila tidak bisa menulis atau bicara.

Dengan demikian dalam mengucapkan shighat harus jelas

V FUNGSI DAN PERAN PEMERINTAH PEMERINTAH

Untuk memajukan dunia perwaafan di Indonesia, pemerintah melalui Dep. Agama berupaya menjalankan fungsi dan perannya guna memfaslitasi pengembangan administrasi perwakafan di Indonesia sesuai dengan perkembangan masyarakat.

Pada awalnya berdasarkan Keputusan Manteri Agama No. 18 Th. 1975 tentang Susunan dan Organisasi Tata Kerja Dep. Agama bahwa urusan wakaf merupakan bagian tugas Sub Direktorat pada Direktorat Urusan Agama Islam. Pada tahun 2001 berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 1 Th. 201 tentang Keudukan, Tugas, Fungsi Keweangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama yang tadinya wakaf termasuk zakat merupakan Sub. Direktorat Urusan Agama Islam menjadi Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf dengan sub/sub direktorat : Sub Sdirektorat Pemberdayaan Zakat, Sub Direktorat Bina Lembaga Pengelola Zakat, Sub. Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Sub. Direktorat Bina Lembaga Pengelola Wakaf, Sub. Direktorat Pengendalian dan Evaluasi, dan Sub. Bag. Tata Usaha.

Setelah disahkannya UU No. 41 Th. 2004 dan pada tahun 2006 pemerintah memecah Direktorat Zakat dan Wakaf menjadi dua Direktorat yang berdiri sendiri, dilingkungan Direkrorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji yang didasarkan pada Peraturan Menteri Agama No. 3 Th. 2006 temntang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama, Direktorat Jenderal Bimas Islam menjadi Direktorat Jenderal baru dengan susunan Oraganisasi :

1. Sekretariat Ditjen ;

2. Diektorat Urusan agama Islam dan Pengembangan Syari’ah ;

3. Direktorat Peneranagan Agama Islam ;

4. Direktorat Pemberdayaan Zakat ;

5. Direktorat Permberdayaan Wakaf ;

6. Kelompok Pejabat Fungsonal .

Peran dan fungsi pemerintah dalam perwakafan sbb.

1. Peran Pemerintah :

Direktorat Pemberdayaan Wakaf mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas Departemen agama yang berkaitan dengan bidang wakaf :

a. Mempersiapkan bahan perumusan kebijaksanaan teknis di bidang pengembangan wakaf ;

b. Melaksanakan kebijaksanan teknis di bidang wakaf ;

c. Membina organisasi dan ketatalaksanaan mahir wakaf ;

d. Memberikan pelayanan yang meliputi informasi, perizinan dan sertifikasi ;

e. Melaksanakan pengendalian, evaluasi dan pelaporan ;

f. Melaksanakan urusan tata usaha dan rumah tangga direktorat.

2. Tugas dan Fungsi Pemerintah :

Secara Kelembagaan, Departemen Agam memiliki fungsi tugas dan fungsi sebagai berikut ::

a. Fungsi Motivator

Departemen Agama mempunai tugas sebagai lembaga yang memberikan motivasi, rangsangan atau stimulus, khususnya terhadap lembaga-lembaga pengelola wakaf yang ada agar memaksimalkan fungsi pengelolaan harta wakaf secara profesional dalam ranghka kesejahteraan masyarakat banyak/ Bentuk dukungan Departemen Agama sebagai sebuah lembaga yang memiliki otoritas keagamaan berupa kebijaksanaan yang bersifat publik tidak hanya berhenti pada kelembagaan nazhir saja, tapi juga lembaga dan pihak yang terkait dengan wakaf seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Lembaga Bisnis. Lembaga Penjamin Syari’ah, Bank Syari’ah, Lembaga Arsitektur Nasional dan Lembaga Professional lainnya.

Demikian juga kepada para pemuka agam, seperti ulama, ustazd, da’i dan seterusnya agar menjelaskan kepada masyarakat akan pentingnya fungsi wakaf dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian Departemen Agama dapat menciptakan sebuah sinergi yang strategis dalam rangka membangun bangsa ini melalui pemberdayaan lembaga-lembaga ekonomi yang ada. Sebagai lsngksh konkrit yang dilakukan Departemen Agama adalah pembuatan Pilot Proyek (Proyek Percontohan) pemberdayaan tanah wakaf produktif strategis, dengan harapan dapat menjadi stimulus dan percontohan bagi pengelolaan tanah wakaf, untuk kesejahteraan Islam khususnya bangsa Indonesia pada umumnya

b. Fungsi Fasilitatror

Departemen Agama memberikan fasilitas yang memungkinkan terhadap para nazhir, wakif, calon wakif, lembaga atau pihak lain yang terkait dengan perwakafan, baik yang bersifat fisik maupun non fisik dalam rangka mengoptimalkan peraran pengelolaan, pengembangan, pelaporan dan pengawasan kelembagaan Walaupun upaya Departemen Agama dala memberikan fasilitas-fasilitas tersebut masih sanfat terbatas karena minimnya anggaran yang ada, namun paling tidak hal ini menggambarkan kesungguhan dan keseriusan Dep. Agama. Dengan demikian diharapkan partisipasi banyak pihak agar dunia perwakafan kita dapat berkembang dengan baik.

Bentuk fasilitas yang sudah diberikan oleh Departemen Agama adalah dengan mengadakan penyuluhan dan penataran para nazhir wakaf dan juga membantu sertifikasi tanah-tanah wakaf yang ada di hampir seluruh pelosok tanah air dengan angka mencapai 75 %, sedangkan sisanya merupakan benda wakaf baru atau wakaf yang belum dapat diproses karena problem elengkapan surat keterangan yang mendukung.

Upaya nyata yang akan dilakukan pemerintah adalah menfasilitasi lahirnya Badan Wakaf Indonesia (BWI) dan pengelolaan selanjutnya akan diserahkan kepada pengurus dengan latar belakang keahlian beragam. Dengan demikian BWI akan menjadi lembaga independen dan dijalankan secara profsional yang diharapkan mampu meberdayakan potensi wakaf di Indonesia dengan lebih baik, sehingga wakaf memberikan maslahat lebih besar bagi umat Islam di Tanah Air.

c. Fungsi Regulator

Departemen Agama menjadi pihak yang memantau seluruh kebijakan dan peraturan perundang-undangan perwakafan yang dianggap tidak relefan dengan perkembangan kekinian untuk kemudian untuk kemudian menyusun dan atau mengusulkan perubahan kebijakan bersama pihakpihak lain, baik yang bersifat internal maupun eksternal (yang bersifat kelembagaan negara . Fungsi regulator yang diperankan oleh Departemen Agama memang sangat strategis dalam rangka memperbaiki sistem peraturan dan perundangan yang dinilai belum mencerminkan sebuah upaya pengelolaan wakaf secara profesional.

Uapaya nyata yang dilakukan oleh Departemen Agama dalam hal regulator ini adalah memproduksi perundang-undangan perwakafan meliputi Peraturan Pemerintah (PP).

b. Publik Service

c. Administrasi Wakaf

VI MAJELIS WAKAF DAN ZIS PP MUHAMMADIYAH

VII. PELAKSANAAN PERWAKAFAN

A. Wakif dan kedudukan harta bendanya

Dalam pelaksanaan perwakafan salah satu syarat harus adanya wakif yaitu orang yang mewakafkan benda yang dimilikinya, yang dengan sadar dia mewakafkan atas tanggung jawab moral bahwa sebagian harta yang dimilkinya adalah milik orang lain, yang harus disalurkannya. Dalam pandangan Al Madudi yang dikutip oleh Imam Suhadi , bahwa pemilikan harta dalam Islam itu harus diserta tanggung jawab moral. Tanggung jawab moral artinya segala sesuatu (harta benda) yang dimiliki oleh seseorang atau sebuah lembaga secara moral harus diyakini secara teologis bahwa ada sebagian dari harta tersebut milik orang lain, aitu untuk kesejahteraan sesama yang secara ekonomi kurang atau tidak mampu, seperti fakir mkisn, atim piatu, manula anak-anak terlantar dan fasilitas sosial

Asas keseimbangan dalam kehidupan atau keselarasan dalam hidup merupakan asas hukum yang universal. Asas tersebut diambil dari tujuan perwakafan yaitu untuk beribadah atau pengabdian kepada Allah SWT sebagai wahana komunikasi dan keseimbangan spirit antara manusia (mahluk) dengan Allh (Khaliq).

Titik keseimbangan tersebut pada gilirannya akan menmbulkan keserasian dengan hati nuraninya untuk mewujudkan ketentraman dalam hidup. Asas keseimbangan telah menjadi asas pembangunan, baik didunia maupun diakhirat, yaitu antara spirit materi individu dengan masyarakat banyak

Asas pemilikan harta benda adalah tidak mutlak, tetapi dibatasi dengan ketentuan-ketentuan yang merupakan tangung jawab moral akibat dari kepeilikan tersebut. Pengaturan manusia berhubung dengan harta benda merupakan hal yang esensiil dalam hukum dan kehidupan manusia. Pemilikan harta benda menyangkut bidang hukum, sedang pencarian dan pemanfaatan harta benda menyangkut bidang ekonomi dan keduanya bertalan erat yang tidak bisa dipisahkan.

Pemilikan harta benda mengandung prinsip atau konsepsi bahwa semua benda hakikatnya milik Allah. Kepemilikan dalam ajaran Islam disebut juga amanah (kepercayaan), yang mengandung arti, bahwa yang dimilii harus dipergunakan sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh Allah. Konsep tersebut sesuai Firman Allah dalam surat Al Maidah ayat 120 yang berbunyi :

Artinya : Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Sejalan dengan konsep kepemilikan harta dalam Islam, maka harta yang telah diwakafkan oleh wakif memiliki akibat hukum, yaitu ditarik dari lalu lintas peredaran hukum yang seterusnya menjadi milik Allah, yang dikeelola oleh Nazhir, baik perorangan atau lembaga, sedangkan manfaat bendanya digunakan untuk kepentingan umum.

Sebagai konsep sosial yang memiliki dimensi ibadah, wakaf juga disebut shadaqah jariyah, dimana pahala yang didapat oleh wakif (orang yang mewakafkan hartanya) akan selalu mengalir selama harta tersebut masih ada dan bermanfaat. Untuk itu harta yang telah diwakafkan, maka sejak itu harta tersebut terlepas dari kemilikan wakif dan kemanfaatannya menjadi hak-hak penerima wakaf. Dengan demikian harta wakaf tersebut menjadi amanat Allah kepada orang atau badan hukum (yang berstatus sebagai Nazhir) untuk mengurus dan mengelolanya.

Apabila seseorang mewakafkan sebidang tanah untuk pemeliharaan lembaga atau balai pengobatan yang dikelola oleh suatu yayasan misalnya, maka sejak diikrarkan sebagai harta wakaf, tanah tersebut terlepas dari hak milik si wakif, pindah menjadi hak Allah dan merupakan amanat pada lembaga atau yayasan yang menjadi tujuan wakaf. Selanjutnya yayasan tersebut memiliki tanggung jawab penuh untuk mengelola dan memberdayakannya secara maksimal demi kesejahteraan masarakat banak

B. Nazhir, tugas dan kewajibannya

Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari Wakif untuk dikelola dan dkembangkan sesuai dengan peruntukanya. Posisi Nazhur sebagai pihak yang bertugas untuk memelihara dan mengurusi harta wakaf mempunyai kedudukan yang penting dalam perwakafan. Sedemikian pentingnya kedudukan Nazhir dalam perwakafan, sehingga berfungsi tidaknya wakaf bagi mauquf ‘alaih bergantung kepada Nazhir. Meskipun demikian tidak berarti bahwa Nazhir mempunyai kekuasaan mutlak terhadap harta yang diamanhkan kepadanya

Pada umumya para ulama selah bersepakat bahwa kekuasaan Nazhir wakaf hanya terbatas pada pengelolaan wakaf agar dapat dimanfaatkan sesuai dengan tujua wakaf yang dkehendaki leh wakif. Asaf A.A Fyzee berpendapat sebagaimana dikutip oleh Dr. Uswatun Hasanah, bahwa kewajiban Nazhir adalah mengerjakan sesuatu yang layak untuk menjaga dan mengelola harta. Sebagai pengawas harta wakaf, Nazhir dapat mempekerjakan beberapa wakil atau pembantu untuk menyelenggarakan urusan-urusan yang berkenaan dengan tugas dan kewajibannya. Nazhir sebagai pengawas dan pemelihara wakaf berkewajiban melaporan pelksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia (BWI). Sebagai imbalan atas pelaksanaan tuganya, Nazhir dapat menerima imbalan yang besarnya tidak boleh melebihi 10 % (pasl 12) tidak boleh menjual, menggadaikan atau menyewakan harta wakaf terkecuali seijin Pengadilan.

Dengan demikian keberadaan harta wakaf yang ada ditangan Nazhir dapat dikelola dan diberdayakan secara maksimal untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat banyak yang bisa dipertanggung-jawabkan secara moral dan hukum Allah SWT.

Nazhir meliputi :

1. Perorangan , ditunjuk

2. Organisasi

3. Badan Hukum

C. Harta benda wakaf,

1. Jenis Harta Benda Wakaf.

Jenis harta benda wakaf dalam UU No. 41 Th. 2004 terdiri dari : benda tidak bergerak, benda bergerak selain uang dan benda bergerak berupa uang

a. Benda tidak bergerak dimaksud adalah :

1 Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan baik yang sudah maupun yang belum terdaftar ;

2 Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah ;

3 Tanaman benda lain yang berkaitan dengan tanah ;

4 Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan perundang-undangan ;

5 Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketenuan prinsip syariah dan peraturan perundang-undangan.

Sedangkan untuk hak atas tanah yang dapat diwakafkan terdiri dari :

1) Hak milik atas tanah, baik yang sudah atau belum didaftarkan ;

2) Hak atas tanah bersama dari satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan perundang-undangan ;

3) Hak guna bangunan, hak guna usaha atau hak pakai yang berada di atas tanah negara ;

4) Hak guna bangunan atau hak pakai yang berada di atas tanah hak pengelolaan atau hak milik pribadi yang harus mendapat izin tertulis dari pemegang hak pengelolaan atau hak milik.

b. Benda bergerak selain uang dapat dijabarkan sebagi berikut :

1 Benda digolongkan sebgai benda bergerak karena sifatnya yang dapat dipindahkan atau karena ketetapan undang-undang ;

2 Benda bergerak terbagi dalam benda bergerak yang dapat dihabiskan karena pemakaian ;

3 Benda bergerak yang dapat dihabiskan karena pemakaian tidak dapat diwakafkan, kecuali air dan bahan bakar minyak yang persedianya berkelanjutan. ;

4 Benda bergerak yang tidak dapat dihabiskan karena pemakaian dapat diwakafkan dengan memperhatiak ketentuan prinsip syari’ah.

Benda bergerak karena sifatnya yang dapat diwakafkan meliputi :

1) kapal ;

2) pesawat terbang ;

3) kendaraan bermotor ;

4) mesin dan peralatan industri yang tidak tertancap pada bangunan ;

5) logam dan batu mulia, dan/ atau

6) benda lainnya yang tergolong sebagai benda bergerak karena sifatnya dan memiliki manfaat jangka panjang

Benda bergerak selain uang karena peraturan perundang-undangan yang dapat diwakafkan sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’ah sebagai berikut :

1) surat berharga yang berupa :

a). Saham ;

b). Surat Utang Negara ;

c). Obligasi pada umumnya, dan/ atau

d). Surat berharga lainnya yang dapat dinilai dengan uang.

2) Hak Atas Kekayaan Intelektual yang berupa :

a). Hak cipta ;

b). Hak merk ;

c). Hak patent ;

d). Hak desain industri

e). Hak rahasia dagang ;

f). Hak sirkuit terpadu ;

g). Hak perlindungan varietas tanaman dan/ atau

h). Hak lainnya .

3) Hak atas benda bergerak lainnya yang berupa :

a). Hak sewa, hak pakai dan hak pakai hasil atas benda bergerak ;

b). Perikatan, tuntutan atas jumlah uang yang dapat ditagih atas benda bergerak.

Wakaf benda bergerak berupa uang yang merupakan terobosan dalam Undang-undang No. 41 Th. 2004 tentang Wakaf dapat dijabarkan sbb.

1). Wakaf uang yang dapat diwakafkan adalah mata uang rupiah ;

2). Dalam hal uang yang akan diwakafkan masih dalam mata uang asing, maka harus dikonversi terlebih dahulu ke dalam rupiah.

3). Wakif yang akan mewakafkan uangnya diwajibkan untuk :

a). hadir di Lembaga Keuangan Syari’ah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU) untuk menyatakan kehendak wakaf uangnya ;

b). menjelaskan kepemilikan dan asal-usul uang yang akan diwakafkan ;

c). menyetorkan secara tunai sejumlah uang ke LKS-PWU ;

d). mengisi formulir pernyataan kehendak Wakif yang berfungsi sebagai ikrar wakaf.

4). Dal hal Wakif tidak dapat hadir, maka Wakif dapat menunjuk wakil atau kuasanya.

5). Wakif dapat menyatakan ikrar wakaf benda bergerak berupa uang kepada Nazhir dihadapan PPAIW yang selanjutnya Nazhir menyerahkan akta ikrar wakaf tersebut kepada LKS-PWU

D. Pelaksanaan Perwakafan

1. Pejabat Pembuat Akte Ikrar Wakaf

1. Ikrar Wakaf

2. Akte Ikrar Wakaf

E.. Sengketa Wakaf dan penyelesaiannya

1

VIII PENDAFTARAN HARTA BENDA WAKAF

A. Tanah milik yang sudah bersertifikat dengan status hak milik

1. Persyaratan pembuatan AIW.

a. Sertifikat hak atas tanah

b. Surat keteranganKepala Desa/ Lurah yang diketahui Camat bahwa tanag tersebut tidak sengketa

c. Surat keterangan pendaftaran tanah (SKPT) dari Kantor Pertanahan Kab/ Kotamadya setempat

d. Harus ada calon wakif yang berkeinginan mewakafkan tanah miliknya ;

e. Harus ada nadzir perorangan WNI dan atau Badan Hukum Indonesia

2. Proses pembuatan AIW.

3. Pendaftaran dam pencatatan AIW .

B. Tanah milik yang sudah bersertifikat dengan HGB dan Hak Pakai

C. Tanah hak milik yang belum bersertifkat (bekas tanah hak milik adat).

1. Persyaratan pembuatan AIW.

2. Proses pembuatan AIW.

3. Pendaftaran dan pencatan AIW

D. Tanah yang belum ada haknya (yang dikuasai. Tanah negara)

IX BADAN WAKAF INDONESIA

Badan Wakaf Indonesia (BWI) , adalah lembaga independen untuk mengembangkan perwakafan di Indonesia yang dalam melaksanakan tugasnya bersifat bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, serta bertanggung jawab kdepada masyarakat

1. Kedudukan

Badan Wakaf Indonesia berkedudukan di Ibukota Negara dan dapat membentuk perwakilan di Propinsi dan/atau Kabupaten/Kota sesuai dengan kebutuhan

2. Tugas dan wewenang (psl. 47 ayat (1) dan ayat (2) serta psl. 48 :

a. Melakukan pembinaan terhadap para Nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf ;

b. Membuat pedoman pengelolaan dan mengembangkan harta benda wakaf ;

c. Melakukan pengelolaan dan mengembangkan harta benda wakaf berskala Nasional dan internasional serta harta benda wakaf terlantar ;

d Memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf ;

e. Memberhentikan dan mengganti Nazhir ;

f. Memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam menyusun kebijakan di bidang perwakafan

3. Struktur Badan Wakaf Indonesia (psl. 51 ayat (1)

Badan Wakaf Indonesia (BWI) terdiri atas Badan Pelaksana dan Badan Pertimbangan, yang masing-masing dipimpin oleh satu orang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua , yang dipilih dari dan oleh para anggota .

Susunan keanggotaan masing-masing Badan Pelaksana dan Badan Pertimbangan ditetapkan oleh para anggota. Jumlah anggota BWI terdiri paling sedikit 20 orang dan paling banyak 30 orang yang berasal dari unsur masyarakat.

Yang berhak menjadi anggota BWI : mereka yang memenuhi persyaratan (psl. 54 ayat(1) :

a. Warga negara Indonesia

b. beragama Islam ;

c. dewasa ,

d. amanah ;

e. Mampu secara jasmani ;

f. Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum;

g. Memeiliki pengetahuan, kemampuan, dan/atau pengalaman di bidang perwakafan dan/ atau ekonomi khususnya di bidang ekonomi syari’ah dan

h. Mmpunyai komitmen yang tinggi untuk mengembangan perwakafan nasonal.

4. Cara pengangkatan keanggotaan BWI (psl. 57 ayat(1) :

a. Untuk pertama kali pengangkatan anggota BWI diusulkan kepada Presiden oleh Menteri . Pengangkatan Keanggotaan Badan Wakaf Indonesia berdasarkan Keppres No. 75/M Th. 2007. dan kemudian ditetapkan dengan SK. Menag No. 96 Th. 2007

b. Yang berhak mengangkat dan memberhentikan BWI , adalah Presiden , sedangkan keanggotaan Perwakilan BWI di daerah dianggkat dan diberhentikan oleh BWI dengan masa jabatan 3 tahun dapat diperpanjang 1 kali masa jabaan.

c. Pembiayaan operasional BWI , pemerintah wajib membantu biaya operasional, dan pertanggung jawaban melalui laporan tahunan yang diaudit oleh lembaga audit independen dan disampaikan kepada menteri.

.

.

X STRATEGI PERWAKAFAN

Cara yang banyak ditempuh dalam mengembangkan harta wakaf ialah dengan jalan mempersewakannya. Hal ini sejalan dengan kenyataan bahwa kebanyakan harta wakaf dalam bentuk benda tetap (fixed asset), seperti lahan pertanian dan bangunan

Dewasa ini terbuka kesempatan untuk berwakaf dalam bentuk uang. Tapi persoalannya, bagaimana memanfaatkan dana yang terkumpul. Menurut Muhammad Abdullah Al Anshari ”Uang wakaf akan beemanfaat jka digunakan, untuk itu dana tersebut diinvestasikan dan labanya disedekahkan. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Imam az Zuhri sebagaimana diriwayatkan leh Imam Bukhari

Muncul dan berkembangnya lembaga keuangan syari’ah dengan prinsip kerja sama bagi hasil, prinsip jual beli, da prinsip sewa menyewa. Dengan demikian sewakin mempermudah nazhir selaku manajemen investasi untuk menginvestasikan dana-dana wakaf yang terhmpun sesuai dengan prinsip syari’ah.

1. Investasi Mudharabah

Investasi mudharabah : membangkitkan sektor usaha kecil dan menengah dengan cara memberikan modal usaha kepada petani gurem, nelayan, pedagang kecil dan menengah (UKM). Dalam hal ini pengelola wakaf uang berperan sebagai shohibul mal (pemilik modal) yang menyediakan modal 100 % dari usaha dengan sistem bagi hasil

2. Inveatasi Musyarakah

Investasi ini hampir sama dengan sistem investasi mudharabah, pada investasi musyarakah ini resiko yang ditanggung oleh pengelola wakaf lebih sedikit, karena modal ditanggung bersana oleh dua pemilik modal, investasi ini memberi peluang bagi pengelola wakaf untuk menyertakan modalnya pada sektor usaha kecil dan menengah yang diangap memiliki kelayakan saha, namun kekurangan modal untuk mengembangkan sahanya.

4. Investasi Ijarah

Salah satu contoh yang dapat dilakukan dengan sistem investasi ijarah )sewa) ialah endayagunakan tanah wakaf yang ada. Dalam hal ini pengelola wakaf menyediakan dana untuk mendirikan bangunan di atas tanah wakaf, seperti pusat perbelanjaan (commercial center),rumah sakit, apartemen dll. Kemudian pengelola harta wakaf menyewakan gedung tersebut hingga dapat menutup modal pokok dan mengambil keuntungan yang dikehendaki.

5. Investasi Murahabah.

Dalam investasi murahabah, pengelola wakaf diharuskan berperan sebagai enterperneur (pengusaha) yang membeli peralatan da material yang diperlukan melalui suatu kontrak murahabah. Adapun keuntungan dari investasi ini adalah pengelola wakaf dapat membantu pengusaha-pengusaha kecil yang membutuhkan alat-alat produksi, misalnya tukang jahit yang memerlukan mesin jahit.

Disamping hal-hal terebut di atas, pengelola wakaf juga dapat menginvestasikan dana wakaf melalui lembag-lembaga keuangan syari’ah atau pasar modal syari’ah . Dalam kontek ini pengelola wakaf (nazhir) selaku manajemen investasi bertugas menyalurkan hasil dana wakaf dan pengelolaannya diserahkan kepada lembaga keuangan syari’ah

XI STRATEGI PENGELOLAAN WAKAF PRODUKTIF

A. Regulasi UU Perwakafan

Perundang-undangan yang terkait dengan wakaf berupa UUPA No. 5 tahun 1960 dan PP No. 28 Th. 1977 tentang perwakafan tanah milik dan peruntukannya pada umumnya untuk kepentingan ibadah mahdhah seperti masjid, mushola , pesantren, kuburan dll. Dengan perundangan tersebut belum memberikan peluang yang maksimal bagi tumbuhnya pemberdayaan benda-benda wakaf secara produktif dan profesional. Alhamdulillah pada 27 Oktober 2004 telah dilahirkan UU Wakaf No. 41 th. 2004 yang memuat disamping untuk epentingan ibadah mahdhah juga menekankan perlunya pemberdayaan wakaf secara produktif untuk kepentingan sosial (kesejahtraan umat).

Dengan UU akaf ini memiliki substansi antara lain :

1. Benda yang diwakafkan (mauquf bih). Dalam UU ini mengatur benda wakaf yang bergerak seperti uang, saham, surat-surat berharga dan hak keayaan intelektual. (HKI) dan sebagai Peraturan Pelaksanaanya PP No. 42 Th. 2006

2. Pentingnya pendaftaran benda-benda wakaf oleh PPAIW kepada instansi yang berwenang paling lambat 7 hari kerja setelah penandatanganan AIW;

3. Persyaratan nazhir perlu disempurnaan dengan pembenahan manajemen kenazhiran seara profesional, seperti amanah, memiliki pengetahuan mengenai wakaf, berpengalaman di bidang manajemen keuangan, kemampuan dan kecakapan yang diperlukan untuk menjalankan tugas nazhir.

4. Menekankan pentingnya pembentukan sebuah lembaga wakaf nasional yang disebut BWI yang bersifat Independen ;

5. Menekankan pentingnya pemberdayaan benda-benda wakaf karena selama ini nampaknya belum optimal

8. Adanya ketentuan pidana dan sanksi administrasi , antara lain para pihak yang engan sengaja menyalahgunakan benda wakaf dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 500. 000.000,-

B. Pembentukan Badan Wakaf Indonesia

Penerimaan wakaf berdasarkan literatur sejarah dilakukan oleh institusi Baitul Mal yang merupakan institusi dominan dalam sebuah pemerintahan Islam. Baitul Mal berperan secara konkrit menjalankan program-program pembangunan, disamping tugas utamanya sebagai bendahara negara (treasury house)

Untuk konteks Indonesia lembaga wakaf yang secara khusus mengelola dana wakaf tunai dan beroperasi secara nasional berupa Badan Wakaf Indonesia (BWI). Yang bertugas mengkoordinis nazhir-nazhir yang sudah ada dan atau mengelola secara mandiri terhadap harta wakaf yang dipercayakan kepadanya, khususnya wakaf tunai.

C. Optimalisasi UU Otonomi Daerah/ Perda

Memasuki usia pelaksanaan otonomi daerah yang ke (UU No. 2 Th. 1999 ) semakin terasa bahwa persoalan yang dihadapi oleh masing-masing daerah ternyata tidak mudah dirumuskan . Hal ini terbukti dengan adanya kecenderungan untuk melakukan mobilisasi kedaerahan secara besar-besaran baik yang berbentuk kekuasaan elit lokal, gap politik dan ekonomi antara daerah dengan pemerintah pusat, maupun pembentukan kebijakan daerah yang semakin mengkhawatirkan..

1. Penguasaan elit lokal, yakni dengan adanya perasaan dan pemikiran bebas menentukan sendiri batas dan wewenang melaksanakan pemerintahan daerah yang hampir sepenuhnya dilimpahkan kepada masyarakat setempat. Sering terjadi adanya konflik horizontal yang tak berkesudahan, karena adanya pengkotakan sosial dan kultural antara masyarakat itu sendiri ;

2. Gap ekonomi politik antara pusat dan daerah, yakni masih adanya perasaan ketidak percayaan masyarakat di karenakan adanya eksploitasi sumber daya daerah teteapi tidak diiringi dengan timbal balik yang menguntungkan daerah . Begitu juga asset yang dimiliki daerah seperti bandara ataupun perbatasan teitorial sering terjadi tarik menarik kepentingan yang pada intinya adalah perebutan lahan perekonomian. Di bidang politik pemerintah daerah semakin berani untuk menentukan kelayakan kekuasaa politik, Pem. Pusat hanya menjadi penonton.

3. Pembentukan kebijakan daerah, beberapa daerah sudah banyak yang menerbitkan perda untuk wilayahnya masing-masing. Mis. Di Aceh dengn UU NAD

Kaitannya dengan potensi pengembangan wakaf karena Otda sangat memberikan peluang bagi pengembangan pemberdayaan pengelolaan wakaf.

D. Pembentukan Kemitraan Usaha

Untuk mendukung keberhasilan pengembangan aspek produktif dari dana wakaf tunai, perlu diarahkan model pemanfaatan dana tersebut kepada sektor usaha yang produktif, yakni dengan bekerja sama dengan lembaga usaha yang memiliki reputasi yang baik, dengan perusahaan modal ventura.

E. Penerbitan Sertifikat Wakaf Tunai.

F. Penerbitan Sertifikat Wakaf Investasi

XII STRATREGI PENGEMBANGAN WAKAF TUNAI DI INDONESIA

A. Pembentukan Institusi Wakaf

Penerimaan wakaf berdasarkan literatur sejarah dilakukan oleh institusi Baitul Mal yang merupakan institusi dominan dalam sebuah pemerintahan Islam ketika itu. Baitul Mal dalam tugasnya sebagai Bendahaara.

Dengan karakteristiknya yang khas, wakaf memerlukan manajemen dalam Lembaga Baitul Mal. Baitu Mal harus menjaga eksistensi harta wakaf dan keselarasannya dengan wakaf dari wakif. Dalam konteks peekonomian kontemporer ang belum menjadikan Baitul Mal sebagai institusi negara, diperlukan modifikasi institusi dalam pengelolaan wakaf tunai.

Di Indonesia sebagai Bendahara yang mengelola wakaf tunai telah ditetapkan adanya Badan Wakaf Indonesia. Tugas lembaga itu adalah mengkoordonir nazhir-nazhir yang sudah ada dan atau mengelola secara mandiri terhadap harta wakaf yang dipercayakan kepadanya, khususnya wakaf tunai.

B. Sistem Pengelolaan Dana Wakaf

1. Memberi Peran Perbankan Syari’ah

a. Bank Stari’ah sebagai Nazhir penerima, penyalur dan pengelola dana wakaf

b. Bank Syari’ah sebagai Nazhir penerima dan penyalur dana wakaf

c. Bank Syari’ah sebagai pengelola dana wakaf

d. Bank Syari’ah sebagai kustodi (penitipan).

e. Bank Syari’ah sebagai kasir Badan Wakaf Indonesia

2. Membentuk Lembaga Investasi Dana

a. Kemampuan akses kepada calon wakif

b. Kemampuan melakukan investasi dana wakaf

c. Kemampuan melakukan administrasi rekening beneficiary

d. Kemampuan melakukan dstribusi hasil investasi dana wakaf benefit

e. Mempunyai kredibilitas di masyarakat dan harus dikontrol oleh hukum secara ketat.

3. Menjalin Kemitraan Usaha

4. Memberi Peran Lembaga Penjamin Syari’ah

C. Membuka Jaringan dan Kerjasama Wakaf

Upaya pengembangan wakaf secara internasional telah dilakukan, khususnya di lingkungan negara-negara OKI yang diperkarsai oleh IDB yang berpusat di Jeddah yang dilakukan oleh Islamic Economics Corporation and Development Devision (IECD). Lembaga ini selain melakukan pengkajian dan pelatihan, juga memberkan bantuan teknis dan finasial termasuk pengembangan wakaf. Untuk tingkat nasional keberadaan lembaga tersebut perlu dibentuk dan berada di bawah BWI, yakni berupa :

1. Jaringan lembaga-lembaga wakaf

Lembaga-lembaga wakaf yang cukup banyak dan sudah mengarah ke profesionalisme seprti Pesantren As Salam Gonot, UII Yogya , UISU Medan dll. Hendaknya mengadakan jaringan informasi dan komunkasi serta kerja sama yang efektif antar lembaga tersebut dalam bentuk saling tukar menukar informas, pengalaman manageral, aspek teknis teknologi dan lain sebagainya.

2. Jaringan kepakaran wakaf

Dalam rangka pengembangan dan pengelolaan wakaf perlu mendapatkan pendapat dari para pakar di bidang Fiqh seperti Dr. Anwar Ibrahim, KH Didin Hafiduddin dan KH. Ma’ruf Amin ; di bidang Ekonomi Islam Dr. Syafe’i Antonio, Dr. Mustafa Edwin Nasution dll ; di bidang manajemen usaha Ismail Yosanto dsb.

3. Jaringan permodalan, investasi dan pengembangan

Jaringan permodalan tingkat nasional yakni Perbankan Syari’ah, Sertifikat Wakaf Tunai, Sertifikat Wakaf Investasi dan lembaga yang memiliki odal cukup dalam pengembangan pemberdayaan wakaf. Sedangkan di tingkat internasional yakni egara-negara OKI yang diperkasai IDB. Demikian pula berbagai jaringan pengembangan harta dan Investasi di dunia Islam, yang yang berpusat di Jeddah, Turki dan Pakistan maupun lembaga-lembaga profesional yang dkembangkan oleh masyarakat muslim diAmerika Serikat.

4. Jaringan informasi dan komunikasi

5. Penerbitan media wakaf

D. Meningkatkan Political Will Pemerintah

Pemberdayaan UU No. 22 th. 1999 tentang Otonomi Daerah dan Perda di setiap Propinsi dan Kabupaten secara maksimal. UU yang mengatur tentang Otda memberi peluang atas peran Pemda secara signifikan dalam upaya memberdayakan wakaf secara produktif

Di Daerah yang memiliki otonomi lhusus seperti dijalankanya Syariat Islam, Pemda bersama DPRD setempat sangat mungkin membuat sebuah peraturan atau Perda yang secara khusus mengatur pemberdayaan wakaf secara produktif.

Sebagai langkah awal, perlu dimulainya proyek-proyek percontohan dalam rangka memberdayakan tanah-tanah strategis yang emiliki ekonomi tinggi, sehingga wakaf dapat memberikan dampak secara nyata bagi kesejahteraan masyaraat banyak.

XIII PARADIGMA BARU WAKAF DI INDONESIA

A. Pembaharuan paham tentang wakaf

1. Sertifikasi tanah wakaf

2. Pertukaran benda wakaf

3. Pola swlwksi atas pertimbangan manfaat

4. Sistem ikrar yang dilakukan

5. Perluasan benda yang diwakafkan .

6. Persyaratan Nazhir

7. Pemberdayaan , pengembangan dan pembinaan.

B. Sistem manajemen pengelolaan

1. Kelembagaan

2. Pengelolaan operasional

3. Kehumasan

4. Sistem keuangan

C. Sistem manajemen kenazhiran

1. Pendidikan formal

2. Penddikan nonformal

3. Penddikan informal

4. Pembinaan fisik

5. Pembinaan mental

D. Sistem rekruitmen wakif.

1. Pendekatan keagamaan

2. Pendekatan kesejahteraan sosial

3. Pendekatan bukti kesejahteraan sosial

4. Pendekatan efektifitas pemanfaatan hasil


By : Dari Dosenku : H. M. Yasir, S.H., M.Hum

2 komentar:

  1. Asalamuaikum, maav sebelumnya saya mau bertanya: bagaiman hukum membongkar masjid yang sudah jadi wakap untuk di jadikan jalan tol seperti kasus di kota semarang?

    BalasHapus
  2. Boleh kah me wakafkan seluruh harta ?? Tanpa persetujuan ahli waris????

    BalasHapus